Jumaat, 16 April 2010

Renungan: Cinta Sejati





Utk Renungan Bersama.

Mungkin kita terlupa dgn artikel ini. Detik-detik
Rasulullah SAW Menghadapi Sakaratul Maut. Ada sebuah
kisah tentang cinta yang sebenar-benar cinta yang
dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu,
walaupun langit telah mulai menguning, burung-burung
gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah
dengan suara terbatas memberikan kutbah, "Wahai umatku,
kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta
kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.

Ku wariskan dua perkara pada kalian, Al-Qur'an dan
sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti
mencintai aku dan kelak orang- orang yang mencintaiku,
akan masuk syurga bersama-sama aku." Khutbah singkat itu
diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang
dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu.

Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca- kaca, Umar
adanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman
menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah
tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," keluh
hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu,
hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-
tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan
cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan
goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau mampu,
seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan
detik-detik berlalu.

Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih
tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan
membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdenga r seorang yang
berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?"
tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali
menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak
tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku
melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah
menatap puterinya itu dengan pandangan yang
menggetarkan. Seolah- olah bahagian demi bahagian wajah
anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,"
kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah
menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah
bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekas ih
Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa
hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan
suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah
terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga
terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi
itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya
masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar
khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku
bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai
Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: 'Ku haramkan syurga bagi siapa saja, kecuali
umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan
tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh
tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya
menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Perlahan Rasulullah menga duh. Fatimah terpejam, Ali
yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau
palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada
Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup,
melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana
sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat
nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai
dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali
segera mendekatkan telinganya "Uushiikum bis shalati, wa
maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah
orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis
mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai
kebiruan."Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku,
umatku, umatku" Dan berakhirlah hidup manusia mulia yang
memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai
sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa
salim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan